Pada hari Rabu (9/9) pagi itu, aku sedang workout di kamar pribadiku. Selang beberapa lama, aku dipanggil oleh ibuku dari ruang dapur dengan nada yang cukup besar dan seperti ada rasa kepanikan yang tertahankan.
Aku ditanya oleh ibuku,
“Teh, terakhir teteh keluar kemana aja?“
“Teh, teteh ada gejala yang kerasa ga sekarang? “
Dengan polosnya aku menjawab dengan nada biasa seperti tidak tahu apa-apa dan tidak terjadi apa-apa.
“Terakhir ke bank, bayar kuliah“
“Paling sakit kepala sih“
Kemudian dilanjut dengan pernyataan ibuku bahwa hasil swab test sudah keluar dan qadarullah aku dinyatakan positif Covid-19. Anyway, aku mengikuti swab test untuk tracing satu keluarga karena ayahku terlebih dahulu terkonfirmasi positif Covid-19 setelah menjalani swab test dari kantornya.
Reaksinya bagaimana?
Jujur diri sendiri masih bingung sambil mempertanyakan,
“beneran ini ga salah denger aku?"
Ga lama setelah itu, langsung aku kabari orang-orang terdekat. Beragam respon datang dari mereka terutama teman-teman yang ikut kaget dan bilang, "HANA?!?! PADAHAL KAMU YANG PALING JARANG KELUAR LOH"
Masih mempertanyakan kemana saja tempat yang aku kunjungi sebulan terakhir, mempertanyakan kenapa bisa kena padahal aku keluar jarang nongkrong, dan keluar hanya berbelanja beberapa kebutuhan. Untuk kerja praktek pun aku pergi ke kantor hanya sekali dan bertemu teman secara dine in hanya dua kali. Masker selalu dipakai — kecuali kalo sedang makan — dan tidak bersentuhan dengan orang sama sekali.
Bahkan waktu dine in di restoran bareng teman-teman untuk pertama kalinya sejak sekian lama, temanku, Maul mengajak berpelukan terlebih dahulu, tapi aku menolak kemudian kubilang, "maaf ya Ul, peluknya jangan dulu".
Tidak hanya itu saja, semenjak ada berita Covid-19 itu hadir di Indonesia, aku ga pernah peluk dan cium tangan ayah dan ibu — kecuali saat lebaran Idul Fitri dan Idul Adha — , ga pernah makan bareng dengan ayah dan ibu dalam satu meja karena setiap orang di rumah sama-sama berpotensi apalagi orang tua yang benar-benar tidak bisa WFH karena harus kerja di lapangan memastikan kondisi kebutuhan orang-orang terkendali.
Akhirnya pada hari Kamis (10/9), aku 'diasingkan' di salah satu RS di Kota Bandung dengan status orang tanpa gejala dengan tujuan untuk menghindari kontak dengan keluarga yang tidak terkena Covid-19. Memang statusnya orang tanpa gejala karena rasanya mirip seperti flu biasa, tapi percayalah ini sudah cukup membuat menderita bukan main meskipun kata orang-orang ga 'seseram itu'. Jika bisa memilih, lebih baik tidak pernah tertular seumur hidup daripada harus melewati fase ini.
View dari rooftop rumah sakit saat olahraga |
Bosan? Jangan ditanya. Aku pun di dalam kamar sudah banyak menghabiskan waktu dengan menonton film-film di aplikasi Netflix — yang dibelikan sepupuku yang tumben baik mau belikan akun itu karena biasanya pelit, but thank you Kak Angga — dan Viu atau baca buku. Beruntungnya, saat itu aku tidak sendiri, ada roommate yang sangat nyambung untuk membicarakan banyak hal terutama dunia drakor dan seperti merasa punya kakak sendiri karena usiaku lebih muda dari dia dan kebetulan pula dalam silsilah keluarganya, dia termasuk anak bungsu dan posisi di keluargaku pun aku merupakan anak sulung sehingga kami seperti bergantian peran.
Buku + wedang jahe buatan ibu |
Tidak luput juga untuk melakukan safari call pada orang-orang. Terkadang dengan keluarga ataupun bersama teman-teman melalui telepon atau bila tidak bisa, lewat chatting. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah masih ada teman yang jadi support system dari jauh. Terutama teman-teman SMA yang masih keep in touch lewat video call.
Aku diisolasi selama 11 hari dan kegiatan rutin yang dilakukan dari rumah sakit hanya program olahraga untuk meningkatkan imunitas. Tidak lupa, diberi makan yang variatif dan enak selama tiga kali sehari ditambah pengecekan suhu tubuh, SpO2, tensi darah, dan monitoring gejala.
Gejalanya selama di rumah sakit aku sering merasa batuk kering, pusing, sakit kepala, dan dada terasa sakit meskipun tidak berat jadi dokter hanya memberi obat untuk mengobati gejala-gejala yang muncul.
Akan tetapi, ada satu gejala yang tidak biasa.
Ini terasa ketika aku sedang berbicara dengan roommate-ku saat itu.
Aku mulai merasa bingung ingin bertindak apa dan merasa kebingungan untuk menceritakan suatu kejadian secara runtut — meskipun memang biasanya begitu tapi pada waktu itu berbeda rasanya — .
Kejadian lainnya adalah ketika aku lupa nomor telepon ibuku, padahal aku sangat hafal betul nomor hp ibuku dan ayahku, tapi ketika ditanya nomor hp ibuku, pikiranku langsung blank tiba-tiba.
Setelah ditelusuri melalui internet, gejalanya mirip dengan brain fog. Asumsi itu datang setelah melihat ada berita orang yang positif Covid-19 yang mengalami brain fog. Tidak hanya itu, rasa sakit kepala selalu hadir dan terasa sangat tertekan.
View dari dalam kamar saat malam |
Hari ke-11 aku sudah bisa pulang dari rumah sakit dengan catatan bahwa aku masih harus isolasi mandiri di rumah sebagai bentuk adaptasi kembali dengan lingkungan rumah selama 2 minggu. Benar saja, saat hari pertama di rumah gejala itupun datang lagi. Entah karena apa. Tapi setelah swab test ulang, alhamdulillah aku dinyatakan negatif dan akhirnya aku hanya diberi obat untuk mengobati gejala saja.
Aku hanya sempat berpikir jika mungkin itu disebabkan dari perasaan yang terlalu sedih. Ya, disisi lain aku merasa sedih setelah isolasi di rumah sakit. Tiba-tiba aku membayangkan tenaga medis yang selalu memakai baju astronotnya setiap hari tanpa tahu sampai kapan seperti terjebak dalam situasi yang berlangsung lama, sedangkan aku? Aku sekarang bisa bebas. Setidaknya bisa melakukan banyak hal di rumah. Aku hanya berharap pandemi ini segera berakhir karena aku sangat tidak tega mengamati tenaga medis yang setiap hari berjuang di medan yang sulit ini dalam waktu yang lama.
Akhir kata, aku berharap hal ini bisa dijadikan pelajaran dalam hidupku untuk bisa memaknai kejadian ini semua. Awalnya banyak sekali pertimbangan untuk share ini ke ranah publik, karena beberapa mungkin ada yang memiliki stigma negatif dari penyakit ini dan menjadi aib menurut orang lain. Tapi setelah aku mendengar berita tentang para penyintas Covid-19, aku tau aku tidak sendirian menghadapi ini dan sebisa mungkin bersama-sama menyuarakan untuk terus melawan virus ini dan melawan pandangan-pandangan negatif kepada para penyintas Covid-19. Bahwa semua orang bisa sangat berpotensi bahkan untuk orang yang memiliki proteksi diri paling canggih sekalipun. Setidaknya, kita perlu mengikhtiarkan diri untuk mencegah daripada tidak sama sekali.
Kemudian menyerahkan segalanya pada Allah, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.