Kamis, 29 Oktober 2020

Nonetheless, Covid-19 teach me a lot.

Pada hari Rabu (9/9) pagi itu, aku sedang workout di kamar pribadiku. Selang beberapa lama, aku dipanggil oleh ibuku dari ruang dapur dengan nada yang cukup besar dan seperti ada rasa kepanikan yang tertahankan.

Aku ditanya oleh ibuku,

“Teh, terakhir teteh keluar kemana aja?“

“Teh, teteh ada gejala yang kerasa ga sekarang? “

Dengan polosnya aku menjawab dengan nada biasa seperti tidak tahu apa-apa dan tidak terjadi apa-apa.

“Terakhir ke bank, bayar kuliah“

“Paling sakit kepala sih“

Kemudian dilanjut dengan pernyataan ibuku bahwa hasil swab test sudah keluar dan qadarullah aku dinyatakan positif Covid-19. Anyway, aku mengikuti swab test untuk tracing satu keluarga karena ayahku terlebih dahulu terkonfirmasi positif Covid-19 setelah menjalani swab test dari kantornya.

Reaksinya bagaimana?

Jujur diri sendiri masih bingung sambil mempertanyakan, 

“beneran ini ga salah denger aku?" 

Ga lama setelah itu, langsung aku kabari orang-orang terdekat. Beragam respon datang dari mereka terutama teman-teman yang ikut kaget dan bilang, "HANA?!?! PADAHAL KAMU YANG PALING JARANG KELUAR LOH"

Masih mempertanyakan kemana saja tempat yang aku kunjungi sebulan terakhir, mempertanyakan kenapa bisa kena padahal aku keluar jarang nongkrong, dan keluar hanya berbelanja beberapa kebutuhan. Untuk kerja praktek pun aku pergi ke kantor hanya sekali dan bertemu teman secara dine in hanya dua kali. Masker selalu dipakai — kecuali kalo sedang makan — dan tidak bersentuhan dengan orang sama sekali. 

Bahkan waktu dine in di restoran bareng teman-teman untuk pertama kalinya sejak sekian lama, temanku, Maul mengajak berpelukan terlebih dahulu, tapi aku menolak kemudian kubilang, "maaf ya Ul, peluknya jangan dulu". 

Tidak hanya itu saja, semenjak ada berita Covid-19 itu hadir di Indonesia, aku ga pernah peluk dan cium tangan ayah dan ibu — kecuali saat lebaran Idul Fitri dan Idul Adha — , ga pernah makan bareng dengan ayah dan ibu dalam satu meja karena setiap orang di rumah sama-sama berpotensi apalagi orang tua yang benar-benar tidak bisa WFH karena harus kerja di lapangan memastikan kondisi kebutuhan orang-orang terkendali.

Akhirnya pada hari Kamis (10/9), aku 'diasingkan' di salah satu RS di Kota Bandung dengan status orang tanpa gejala dengan tujuan untuk menghindari kontak dengan keluarga yang tidak terkena Covid-19. Memang statusnya orang tanpa gejala karena rasanya mirip seperti flu biasa, tapi percayalah ini sudah cukup membuat menderita bukan main meskipun kata orang-orang ga 'seseram itu'. Jika bisa memilih, lebih baik tidak pernah tertular seumur hidup daripada harus melewati fase ini.

View dari rooftop rumah sakit saat olahraga

Bosan? Jangan ditanya. Aku pun di dalam kamar sudah banyak menghabiskan waktu dengan menonton film-film di aplikasi Netflix — yang dibelikan sepupuku yang tumben baik mau belikan akun itu karena biasanya pelit, but thank you Kak Angga — dan Viu atau baca buku. Beruntungnya, saat itu aku tidak sendiri, ada roommate yang sangat nyambung untuk membicarakan banyak hal terutama dunia drakor dan seperti merasa punya kakak sendiri karena usiaku lebih muda dari dia dan kebetulan pula dalam silsilah keluarganya, dia termasuk anak bungsu dan posisi di keluargaku pun aku merupakan anak sulung sehingga kami seperti bergantian peran. 

Buku + wedang jahe buatan ibu


Tidak luput juga untuk melakukan
safari call pada orang-orang. Terkadang dengan keluarga ataupun bersama teman-teman melalui telepon atau bila tidak bisa, lewat chatting. Alhamdulillah tsumma alhamdulillah masih ada teman yang jadi support system dari jauh. Terutama teman-teman SMA yang masih keep in touch lewat video call.

Aku diisolasi selama 11 hari dan kegiatan rutin yang dilakukan dari rumah sakit hanya program olahraga untuk meningkatkan imunitas. Tidak lupa, diberi makan yang variatif dan enak selama tiga kali sehari ditambah pengecekan suhu tubuh, SpO2, tensi darah, dan monitoring gejala. 

Gejalanya selama di rumah sakit aku sering merasa batuk kering, pusing, sakit kepala, dan dada terasa sakit meskipun tidak berat jadi dokter hanya memberi obat untuk mengobati gejala-gejala yang muncul. 

Akan tetapi, ada satu gejala yang tidak biasa. 

Ini terasa ketika aku sedang berbicara dengan roommate-ku saat itu. 

Aku mulai merasa bingung ingin bertindak apa dan merasa kebingungan untuk menceritakan suatu kejadian secara runtut — meskipun memang biasanya begitu tapi pada waktu itu berbeda rasanya — . 

Kejadian lainnya adalah ketika aku lupa nomor telepon ibuku, padahal aku sangat hafal betul nomor hp ibuku dan ayahku, tapi ketika ditanya nomor hp ibuku, pikiranku langsung blank tiba-tiba.

Setelah ditelusuri melalui internet, gejalanya mirip dengan brain fog. Asumsi itu datang setelah melihat ada berita orang yang positif Covid-19 yang mengalami brain fog. Tidak hanya itu, rasa sakit kepala selalu hadir dan terasa sangat tertekan.

View dari dalam kamar saat malam

Hari ke-11 aku sudah bisa pulang dari rumah sakit dengan catatan bahwa aku masih harus isolasi mandiri di rumah sebagai bentuk adaptasi kembali dengan lingkungan rumah selama 2 minggu. Benar saja, saat hari pertama di rumah gejala itupun datang lagi. Entah karena apa. Tapi setelah swab test ulang, alhamdulillah aku dinyatakan negatif dan akhirnya aku hanya diberi obat untuk mengobati gejala saja.

Aku hanya sempat berpikir jika mungkin itu disebabkan dari perasaan yang terlalu sedih. Ya, disisi lain aku merasa sedih setelah isolasi di rumah sakit. Tiba-tiba aku membayangkan tenaga medis yang selalu memakai baju astronotnya setiap hari tanpa tahu sampai kapan seperti terjebak dalam situasi yang berlangsung lama, sedangkan aku? Aku sekarang bisa bebas. Setidaknya bisa melakukan banyak hal di rumah. Aku hanya berharap pandemi ini segera berakhir karena aku sangat tidak tega mengamati tenaga medis yang setiap hari berjuang di medan yang sulit ini dalam waktu yang lama.

Akhir kata, aku berharap hal ini bisa dijadikan pelajaran dalam hidupku untuk bisa memaknai kejadian ini semua. Awalnya banyak sekali pertimbangan untuk share ini ke ranah publik, karena beberapa mungkin ada yang memiliki stigma negatif dari penyakit ini dan menjadi aib menurut orang lain. Tapi setelah aku mendengar berita tentang para penyintas Covid-19, aku tau aku tidak sendirian menghadapi ini dan sebisa mungkin bersama-sama menyuarakan untuk terus melawan virus ini dan melawan pandangan-pandangan negatif kepada para penyintas Covid-19. Bahwa semua orang bisa sangat berpotensi bahkan untuk orang yang memiliki proteksi diri paling canggih sekalipun. Setidaknya, kita perlu mengikhtiarkan diri untuk mencegah daripada tidak sama sekali.

Kemudian menyerahkan segalanya pada Allah, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sabtu, 08 Agustus 2020

Catatan Pada Suatu Hari : Kita Punya Hidup Masing-Masing dan Kita Punya Cara Hidupnya Masing-Masing.

Akhir-akhir ini selama pandemi yang hingga detik ini belum selesai, seringkali bagiku memiliki waktu yang cukup longgar dibandingkan ketika saat menjalani rutinitas sebelumnya. Lebih terasa ketika tidak lagi merasakan kehilangan waktu seperti memilih baju yang baik untuk dipakai di hari itu, waktu persiapan panasin mobil atau motor, waktu persiapan pergi keluar, waktu mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain, dan waktu-waktu lainnya yang digunakan tanpa sadar dan bisa tergantikan dengan rebahan sembari scrolling Instagram dan nonton Netflix atau nonton film ilegal.

Waktu akhirnya jadi semakin terasa lebih penuh dimiliki sampai bingung mau ngerjain apalagi. Di satu sisi karena waktu me-time jadi lebih banyak, bagiku ini jadi ajang aku melakukan banyak hal karena akhirnya bisa menyendiri setelah lama sekali hidup diantara hingar bingar dunia luar dan hiruk pikuk perkuliahan yang tiada berhentinya. 

But it’s a trap!

Aku ingat betul masa karantina dimulai pada hari Senin tanggal 16 Maret 2020 dan tempat terakhir yang aku singgahi sebelum karantina adalah Upnormal Dipatiukur buat belajar materi kuliah Studio 4 yang materinya lebih kearah ilmu dunia komputer daripada planologi, dan itu sangat membuatku dan temanku Mona pusing haha, but it’s okay! *eh kok jadi kesana?* Baik lanjut setelah itu, selama akhir Maret hingga Juni kemarin aku menyelesaikan perkuliahanku di Semester 6 secara online.

Disinilah perang batinku dimulai.

Selama satu bulan pertama aku jalani hari-hariku dengan sangat stabil. Aku tidak bisa denial jika aku merasa cukup senang, tanpa beban, dan tidak tertekan saat itu karena hutangku untuk menulis artikel di organisasi bisa aku lakukan, hutangku terhadap diriku sendiri untuk menulis travel blog bisa aku lakukan, saat masa UTS bisa lebih longgar karena bisa explore sepuasnya untuk menjawab (dengan catatan tidak bertanya dengan teman).

Namun, perasaan ini tidak berlangsung lama.

Sekitar minggu kedua bulan Mei, akhirnya batinku mulai terganggu. Aku mengalami kegagalan kesekian kalinya dalam suatu perlombaan. Pupus harapanku lagi untuk mendapatkan hasil yang terbaik menurutku. Aku akhirnya mulai membanding-bandingkan hidupku dengan yang lainnya yang lebih sukses, lebih ceria, lebih berprestasi. Sejak saat itu, aku mulai menarik diri dari orang-orang bahkan temanku sendiri. Diharapkan, dengan menarik diri dari teman-temanku terutama selama Bulan Ramadhan aku bisa lebih mindfulness.

Aku pun jadi lebih berpikir banyak “mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu, kenapa harus begini, kenapa harus begitu”. Ternyata bertanya selama itu pun tidak menghasilkan apa-apa. Belajar pasca UTS pun bisa dibilang semakin kacau. Aku mulai mengembalikan aktivitasku untuk menulis menuangkan rasa dan pikiran, tapi.... rasanya aku tidak menemukan rasa antusias yang sama ketika aku menulis saat aku masih di bangku SMA.

Masuk bulan Juni, sudah mulai masuk waktu untuk UAS. Jadwal UAS di-plot dalam minggu kesatu dan kedua. Setelah UAS, mulai mencari tempat kerja praktek yang aku minat untuk ditempati. Sayang seribu sayang, tempat aku melamar pekerjaan tidak memberikan respon. Akhirnya aku kembali mencari tempat lain dan aku menemukan tempat kerja praktek meskipun tempatnya diluar dari dugaan dan harapanku. Lagi-lagi merasa bersaing dengan yang lain dalam masalah kerja praktek. Ada orang yang lebih baik menurutku, ada yang punya kesempatan untuk develop lebih baik yang aku pikir kalau aku bisa ada disana rasanya aku lebih antusias untuk mengerjakannya. Ya, mirip film Hunger Games lah. Berlomba-lomba untuk memiliki sesuatu yang memberi advantages untuk dirinya.

Tiba-tiba tak terasa sudah masuk Bulan Juli. Awal bulan Juli masuk kedalam jadwal paling hectic selama pandemi. Mulai dari pekerjaan, organisasi, dan course online. Belum lagi mempertahankan habit untuk improvement diri. Di sisi lain, orang-orang sudah mandiri untuk menambah penghasilan dari hasil penjualannya. Ya, beberapa akhir ini sudah banyak sekali orang menjadi mendadak wirausahawan menjual ini itu yang which is good untuk dikembangkan. 

Sampai akhirnya,

Beberapa hari terakhir, ada banyak sekali yang mempertanyakan.

“Memang kenapa dengan hidup seperti biasa saja?”

Kemudian aku tersadar.

Poin aku disini bukan maksudnya untuk menyadarkan diri melakukan sesuatu yang biasa saja lalu jadi tidak mau berusaha optimal, tidak menjalani hidup sebaik mungkin, dan tidak ingin berpenghasilan.

Bukan. Bukan itu.

Aku sudah menyaksikan orang yang berusaha meskipun tidak terlihat di sosial media. Banyak yang berjuang dan memilih untuk tidak menyuarakan keresahan hatinya menghadapi sulitnya hidup. Banyak yang tidak terceritakan di media. Banyak yang sudah berusaha hingga menghadapi kegagalan berkali-kali. Banyak untaian do’a yang terdengar sayup-sayup berharap masih bisa berusaha dan berjuang esok hari untuk menghadapi ujian yang dihadapinya.

Semua pada dasarnya berusaha.

Tapi memang setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.

Ada yang berpenghasilan karena terpaksa memang butuh dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada yang memang belum waktunya berpenghasilan karena mungkin.. suatu saat akan ditempatkan di tempat kerja yang memberi gaji sesuai kebutuhannya selagi saat ini menyibukkan diri dengan berusaha menyelesaikan dasar-dasar untuk mengembangkan skill di tempat ia bekerja nanti.

Berbicara tentang jalan hidup, 

Kita bisa saja berambisi berlomba-lomba dalam mengejar kebaikan, kita bisa saja berambisi menjadi sebaik-baiknya menjadi manusia yang bermanfaat.

Namun perlu juga untuk mengetahui kemampuan diri masing-masing seberapa besarnya target untuk mengejar dalam kebaikan, seberapa besarnya target menjadi manusia yang bermanfaat. Semuanya kembali lagi dinilai dari proses dan cara menghadapi rintangannya. Hanya kita yang tahu kapasitas diri kita sendiri.

Bahkan ketika sekelompok orang mendapatkan permasalahan yang sama, bukankah cara tiap orang menghadapinya berbeda?

Bahkan dalam urusan kecepatan, kecepatan orang untuk mendapatkan dan menyelesaikan sesuatu juga bukan lagi jadi persoalan yang baik.

Cepat bersinar menjadi bintang, cepat juga redup cahayanya.

Cepat naik namanya, cepat juga turun tanpa bekasnya.

Kalo ada petuah yang bilang,

“Lebih cepat, lebih baik”

Lalu bagaimana caranya menghargai proses?

Apa bisa diganti dengan, “Lebih tepat, lebih baik”...?

 

Rabu, 05 Februari 2020

Studio & Semester 5

Here we go!
Bismillah
Sebenarnya menulis ini adalah keinginanku yang sudah sangat lama dan ya... hanya saja butuh ‘effort’ untuk menulis ini a.k.a muager puool tapi kan ga boleh ya berlama-lama untuk mager karena seorang muslim itu hakikatnya sebagai musafir bergerak terus bergerak. Emang ya nih ada aja yang ngebisikin biar terus hanyut dalam kesia-siaan. Dasar aku. :)

Anyway, aku ingin sekali cerita tentang masa semester 5 ini yang weh ajigileee khaan maen rintangan dan tantangannya. Adaa aja yang bikin kesel, ada aja yang bikin marah, ada aja yang bikin kecewa, ada aja yang bikin sedih, dan ada juga yang bikin tertawa, ada pula yang bikin bahagiaa.

Kalau kilas balik ke semester 5 kemarin, rasanya manis dikenang haram diulang. Terus ya dipikir-pikir kok bisa ya dulu bisa begitu bergejolaknya emosi ini atau kok bisa ya akhirnya menjalani itu semua. Ya semuanya sih balik lagi karena Allah serba bisa apalagi urusan mengurusi hamba-Nya.
Dari awal tuh mungkin udah capek duluan sama namanya urusan ospek. Disaat yang lain masih liburan, panitia ospek yaaa rapat ospek dan hasil yang ga beres-beres waktu itu kerasanya lamaaaa banget. Bahkan rangkaian ini berlangsung selama hampir 4 bulan. Jadi ospeknya ga pas diawal perkuliahan tapi selama kuliah berjalan ospek pun berjalan terus. 

Ditambah lagi, di semester ini memasuki mata kuliah Studio 3 yang didalamnya terdapat pembelajaran tentang analisis dan rencana untuk wilayah di Kabupaten Pangandaran. Rasanya nano-nano karena permasalahannnya bukan hanya pusing banget sama materinya dan revisi all day long yang ga ada habis-habisnya ditambah berbagai permasalahan kelompok. Sebenarnya saat Studio 2 juga ada masalah tersendiri dengan internal kelompok, tapi kalo ini beda cerita dan aku sangat malas untuk mengurusinya. Awal-awal masih bisa aku handle pokoknya aku memaksakan bahwa kita semua tim yang harus terus bergerak, ga boleh ada yang ninggalin. Sampai akhirnya, makin lama semangat orang-orang makin menurun tapi progres hasil terus perbaikan agar meningkat. Aku sendiri sih ya hanya menjalani saja bagian tugasku namun perlu juga untuk memback-up untuk perihal yang kurang bagiannya. Mana selalu saja dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kan jadi jiper. :”(( Ditambah keberadaan orang yang tak kunjung datang kabarnya. Dicari hilang, dikejar lari kata Maskun haha. Hal itu cukup menguras banyak emosi aku pada waktu itu.

Twitter mungkin menjadi saksi bagaimana aku sangat-sangat overwhelmed karena mata kuliah satu ini. Dirasa tuntutannya sangat banyak karena sering revisi terus, presentasi terus, pokoknya pernah sampai jadi susah untuk tidur karena malamnya perlu mengerjakan tugas yang satu ini. Bangun tidur, makan, abis sholat rasanya ga karuan karena ngerjain ini terus. Kerja kelompok terus tiap minggu, bahkan mungkin setiap mendekati pemaparan akan ada saat dimana kerja kelompok jadi terjadwalkan setiap hari. Lelah. Sangat lelah. Aku pun menyadari bahwa akhirnya dengan bekegiatan seperti ini membuat metabolisme tubuh aku jadi terganggu. Waktu jam malam malah digunakan untuk mengerjakan tugas, dan paginya mencuri-curi kesempatan untuk tidur. Belum dengan cerita perintilan lainnya.

Namun yang aku insyafi adalah ketika aku melakukan seminar akhir saat aku akhirnya tersadar bahwa Studio ini sebenarnya adalah yang harusnya membuka mata aku dengan lebar. Ada makna tersembunyi dibalik seluruh rangkaian kisah ini. Studio ini memiliki makna yang sangat luas yang mungkin hanya segelintir orang saja yang mendapatkan saripati hikmah dari semuanya. Studio yang selalu ‘dimaki-maki’ karena banyak sekali aturan yang mesti dijalani tanpa disadari bahwa mempunyai dampak yang besar apabila ternyata dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam wilayah yang direncanakan. Pemisalan ini dapat dirasakan ketika kita harus membuat zona disinsentif di suatu wilayah. Waktu itu, di wilayahku sempat membuat zona disinsentif di zona pemukiman tinggi di area rawan bencana alam. Zona ini perlu dipertimbangkan sebagai zona disinsentif karena perlu adanya pembatasan pembanganan area pemukiman lagi di zona tesebut agar masyarakat yang terkena dampak dari bencana alam apabila terjadi bencana alam bisa dicegah dari awal dan dapat diperkirakan tidak menimbulkan korban jiwa yang banyak dan kerugian yang besar.
Inilah yang aku harusnya sadari betul dari awal bahwa semua tidak semata-mata ‘hanya merencanakan’ dan mungkin bila aku sadari dari awal, aku mungkin saja tidak terlalu merasa terbebani dengan mengikuti rangkaian kegiatan perkuliahan ini.

Harapanku kedepannya bisa serius lagi untuk mempelajari berbagai macam materi perkuliahan ini, ada dampak besar dari yang kita lakukan sekarang mungkin 5-10 tahun lagi terjawabkan dan jangan lupa untuk selalu menyisipi makna dan manfaat dari seluruh kejadian yang telah dilalui. Untuk semester 6, be better from before, k?

Kamis, 31 Januari 2019

Pengalaman Berharga

“Jangan jadi orang yang permisif, apatis, dan skeptis“ - Abraham Samad, 2018

Alhamdulillah Selasa kemarin tanggal 13 Februari 2018 aku mendapatkan kesempatan untuk bisa hadir di seminar ‘Spirit of Indonesia‘ yang diselenggarakan oleh KAMI INDONESIA. Narasumbernya juga ga nanggung-nanggung, ada Bapak Zulkifli Hasan (Ketua MPR RI), Bapak Abraham Samad, Kang Oni dan Kang Mi’ing -dua politisi yang dahulunya berkiprah di bidang seni- , serta ada dosen dari Fakultas Dakwah UNISBA. Aku ikut seminar ini karena diajak teman sekelas dan daftarnya waktu H-1 acara wkwk. Pastinya yang menarik bagiku adalah karena dapat berkesempatan lihat langsung sosok politisi yang biasanya suka aku lihat di TV, tapi ga cuma itu aja! Aku juga penasaran apa yang akan disampaikan oleh narasumber di seminar ini. 

Apa aja isinya?

Dalam seminar ini, yang paling membuat aku selalu berkata “Oh iya?, selama ini ternyata aku benar-benar tertidur panjang sampe ga melek keadaan saat ini!!!“ di dalam hati adalah dari Bapak ketua MPR dan Bapak yang pernah menjabat sebagai ketua KPK pada masanya. Kenapa? karena Bapak ketua MPR ini yang juga sebagai keynote speaker menceritakan berbagai macam permasalahan yang ada di Indonesia saat ini, salah satunya seperti kesenjangan ekonomi dan agar kita dapat memperbaiki negara ini adalah dengan masyarakatnya yang perlu diberi ilmu dan menerapkan nilai-nilai di masyarakat. Negara kita udah dalam situasi darurat!

Dari sekian banyaknya manusia di Negara Indonesia ini, yang mendapatkan pendidikan hanya sekian persen, tapi kalo udah masalah penyimpangan seperti narkoba, seks bebas, bahkan hingga LGBT ternyata banyak banget yang masuk ke lubang hitam itu. Apalagi LGBT, yang pernah melakukannya ada lima koma sekian juta orang di Indonesia! Kasus ini, tidak lain diakibatkan pengaruh media dan teman komunitasnya yang kebanyakan memberi efek buruk pada seseorang. Di sisi lain, seperti lingkungan keluarga, lembaga/instansi, lembaga agama cenderung diabaikan. 

Ah jadi ingat saat sesi tanya jawab dengan dosen Pengantar Ekonomi. 

Saat itu aku bertanya,
“ekonomi dengan pendidikan, ekonomi dengan kesehatan memang satu kesatuan yang tidak terpisahkan, lalu apakah pelayanan BPJS itu merupakan suatu pelayanan yang memudahkan masyarakat untuk menunjang kesehatan dalam masalah ekonomi?“ -entah redaksi aslinya seperti apa tapi intinya seperti itu-
dan dosenku menjawab,
“BPJS hanya alat yang diberikan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat mendapatkan keringanan dalam berobat dan ini bukan salah satu yang dapat menunjang kesehatan masyarakat. Untuk menunjang kesehatan, kita harus melihatnya dari sumbernya terlebih dahulu, apakah bahan pangan yang disediakan oleh pemerintah memenuhi standar kesehatan apa tidak. Pada kenyataannya orang miskin justru diberi beras raskin oleh pemerintah yang tidak terjamin apakah aman untuk dikonsumsi atau tidak” -entah redaksi aslinya seperti apa tapi intinya seperti itu- 

Jadi, semua sistem yang dilaksanakan di suatu negara benar-benar perlu diperhatikan. Tidak melihat apa yang sekedar trendy pada saat ini, tapi kita harus melihat lebih dalam apa yang menjadi akar dari suatu permasalahan.

Setelah itu, Bapak Abraham Samad yang berbicara! Gak diragukan lagi jika pembawaannya beliau benar-benar tegas dan lugas! Aku sendiri benar-benar kagum sama orang-orang yang pernah bertugas di KPK sebegitu beraninya memberantas korupsi. Kenapa? karena mereka berhadapan dengan mayoritas yang memiliki perangai yang buruk. Coba ingat-ingat lagi ketika Bapak Novel Baswedan yang disiram air keras hingga matanya tidak bisa melihat di satu sisi. Sekejam itu manusia kepada orang yang punya niat baik untuk menjaga peradaban manusia agar tidak masuk kedalam jurang kegelapan, tapi yang aku lihat sepintas, beliau sangat tawadhu menghadapi musibah ini. Ah jadi inget lagi, ada juga cerita kakak kelasku yang berani melaporkan adanya bocaran kunci jawaban saat UN berlangsung dan karena hal ini, menyebabkan dia dimusuhi oleh teman-teman satu angkatannya. (Gimana kamu? Mau ingetin orang yang melakukan kesalahan aja kamu mikir dua kali karena suatu rasa yang menghampiri. Rasa…… takut)

Kembali lagi ke Bapak Abraham Samad. Bapak Abraham di seminar menjelaskan tentang pentingnya memberantar bibit korupsi pada diri sendiri dan lingkungan sekitar. Beliau memberi contoh seperti mahasiswa yang suka melakukan tipsen-menipsen. Pada presentasinya dipaparkan juga tingkat korupsi di Indonesia dibandingkan negara lain. Parahnya ya gitu lebih tinggi tingkat korupsi dibandingkan negara maju. (Padahal mayoritas muslim loh di Indonesia, bukannya jujur menjadikan ciri pribadi muslim yang baik?). Belum lagi ternyata kemiskinan di Indonesia itu masih sangat banyak! Ada sekitar 10% penduduk di Indonesia yang masih berada di garis kemiskinan. Berapa banyaknya? Ada sekitar 28 juta penduduk dan itu setara dengan jumlah penduduk di Negara Malaysia.“Kita sebagai manusia jangan jadi orang yang permisif, apatis, dan skeptis“ kata Abraham Samad. (Deg! Aku merasa tersindir karena semua sifatnya melekat di dalam diri. Hush! Hush! *ngusir*) Pada generasi saat ini, sanksi yang terikat engga lagi mempan, kita harus beri sanksi sosial terhadap orang-orang yang meakukan kesalahan. Sanksi sosial terkadang memberi efek jera yang efektif bagi pelanggarnya dan kalo engga jera-jera…. entahlah dia mungkin sudah tak tahu malu.

Setelah itu, dua politisi yang dahulunya seorang seniman juga ikut berbicara dalam seminar ini. Mereka membahas tentang kebermanfaatan manusia untuk manusia lainnya. Terakhir, ada juga dosen dari Fakultas Dakwah UNISBA yang menjelaskan tentang penerapan ilmu keislaman dalam berbagai bidang. 

Seminar ini diakhiri oleh sesi tanya jawab. Aku ingin bertanya saat itu, tapi udah keduluan.

Pertanyaan aku ditujukan ke Bapak Abraham Samad.
“Yang saya amati, ternyata bahwa orang yang mengerti dasar dari suatu aturan, tidak jarang jstru mempermainkan aturan tersebut. Di lingkungan saya bahkan ada yang mempunyai prinsip ‘Peraturan dibuat untuk dilanggar’. Pertanyaannya adalah bagaimana mengokohkan prinsip kita agar tetap di jalan yang lurus dan tidak mudah goyah dengan bisikan-bisikan yang bisa mempengaruhi suatu kebijakan ke arah yang lebih buruk karena telah mengetahui dasar dari suatu aturan tersebut? “
Tapi sayangnya aku ga dapat kesempatan untuk bertanya ini….

Meski pada akhirnya aku gak diberi kesempatan untuk bertanya. Seminar ini tetap akan masuk ke dalam list pengalaman berharga di tahun 2018 ini.

2017. I Keep Trying to Run from The First Page until The Last Page.

Sejujurnya, ada keinginan untuk menulis semua cerita tentang tahun ini. Berhubung sebenarnya tidak dianjurkan memakai tahun masehi, tapi tetap saja dalam keseharian memakai tahun masehi, jadi intinya disini akan menceritakan satu tahun terakhir yang sudah terlewati. 2017. 

Mulai dari awal pada masa-masa SMA tingkat akhir, yang galau akan perguruan tinggi dan yang nantinya menjadi sumber perang keberuntungan dengan sesama teman sendiri dimulai. Mulai mencoba untuk rajin demi mendapatkan masa depan yang lebih baik dan pengakuan dari orang terdekat bahwa setidaknya hal ini satu-satunya jalan agar dapat mengangkat derajat keluarga dengan nama almamater yang disematkan pada seorang anak. 

Ujian-ujian akhir terus bermunculan terlebih lagi ada masa transisi menteri pendidikan yang dengan secara cepat merubah kebijakan lama dengan kebijakan yang baru membuat frustasi para siswa kelas 12 pada saat itu. Mencoba untuk tegar dan pasrah mengahadapi segala rangkaian ujian yang terasa sangat mendadak. 

Saat-saat 4 bulan itulah diuji idealisme siswa-siswi SMA kelas 12. Apakah akan mengikuti jalan yang benar atau dengan jalan yang menghalalkan segala cara agar dapat meningkatkan angka baik di catatan akhir sekolah. Diuji juga idealisme siswanya untuk mengikuti jalan bermalas-malasan mengandalkan do'a agar masuk perguruan tinggi atau berakit-rakit mengejar ilmu tetapi lupa mengejar ridho dari Tuhannya. Atau bisa jadi seimbang melakukan keduanya. 

Waktu pengumuman pertama kali tiba saat orang-orang yang cemerlang dapat perguruan tinggi yang diimpikan sedangkan orang yang kurang beruntung mulai mengejar lewat ujian lainnya. Pengumuman kedua muncul saat bulan Ramadhan dan mencoba mencari peluang agar do'a dikabulkan saat waktu-waktu mustajab. Hingga akhirnya tersisa orang-orang yang harus melalui jalan yang lebih keras lagi yang ujung-ujungnya menjadikan orang lebih rasional dalam menghadapi kenyataan hidup.

Senang dan sedih tidak lagi samar, semuanya sangat jelas. Senang dikala ada acara bazar bagi orang tertentu, senang disaat acara wisuda, senang saat prom night. Begitu juga dengan sedih saat dapat kotak merah saat pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi. Sedih saat banyak kejadian yang tidak sesuai harapan. Sedih ada do'a-do'a tertentu yang tidak dikabulkan. 

Waktu puasa dilewati, di kala itu bertemu banyak beraneka ragam watak orang. Bercengkrama dengan orang baru. Bertemu beraneka macam permintaan-permintaan manusia yang tak pernah dikira sebelumnya. Menjadi lebih terbuka dengan siapapun. Mencoba untuk memanfaatkan waktu dengan baik di satu bulan yang penuh berkah. 

Setelah Idul Fitri, kembali ke rutinitas seperti biasa. Tapi bukan seperti biasanya lagi, karena bertemu dengan pekerjaan yang baru saat liburan yaitu menjadi pengangguran. Pengangguran yang mencoba hal-hal baru yang belum pernah dinikmati saat masih menjadi seorang siswa. Di saat itu pula, menemukan titik jenuh bertemu, berbicara, berkumpul dengan banyak orang. Entahlah sangat lelah pada saat itu. 

Liburan usai, saatnya kembali ke realita. Masuk universitas yang tak pernah diharapkan sebelumnya dan mencoba menerima apa yang sudah ditakdirkan. Bertemu orang baru, kebiasaan baru, dan cara bermain dengan cara licik yang baru ditemui. Mulai sulit menghadapi kenyataan yang terus bermunculan dan tidak bisa membedakan mana teman yang benar-benar teman sejati mana orang yang hanya mau memanfaatkan orang disekitarnya karena yang nampak terlihat seperti teman sejati. 

Idealisme dan prinsip diuji saat semester pertama. Kehilangan orang-orang yang dahulu mendukung saat bertemu kesulitan sebesar apapun. Idealisme dan prinsip yang sangat berbanding terbalik dengan lingkungan menjadikan harus banyak menguatkan diri sendiri tanpa perlu berkeluh kesah kepada orang lain karena ya itu teman sejati terlihat samar menuju palsu. 

Merutuki diri sendiri karena melihat kebodohan sendiri, melihat orang yang hanya memikirkan diri sendiri dan menambah masalah kepada orang lain. Memiliki niat untuk tidak mencari masalah dengan orang lain tetapi yang lain seakan lupa kalau sedang menambah masalah si pemilik niat tidak ingin mencari masalah. Kesabaran kali ini diuji. Diangkat lalu diturunkan kembali, diangkat lalu diturunkan kembali tingkat kesabarannya. Selalu terjebak dalam kesabaran ini. 

Diberi ujian kembali di akhir tahun dengan mengharuskan mengikuti suatu kegiatan di tahun selanjutnya untuk mengganti acara angkatan sekarang karena sedang menghadapi ujian yang lain. 

Ya Allah, memang tak pernah terduga atas apa yang engkau takdirkan. Aku merasa perlu bersyukur diuji kepercayaan ini agar aku bisa kembali menguatkan hati agar lebih banyak percaya lagi atas takdir yang Engkau beri..

Rasanya Jadi..........

Dalam masa-masa hiruk pikuk menjadi mahasiswa (baru) di salah satu universitas, akhirnya bisa menyempatkan diri untuk menulis. Tulisanku mungkin sudah bisa ditebak apa poin yang ingin diceritakan benar kan?

Mulai.

Gimana rasanya jadi mahasiswa? Kalo ditanya ini inginnya jawab dengan emoticon nangis sambil ketawa. Ingin senang ga bisa, ingin nangis ga bisa, ingin marah ga bisa. Ya memang inilah tantangan dan resiko jadi mahasiswa, kegiatan baru dan pandangan orang-orang baru benar-benar mempengaruhi perubahan kepribadian sesosok manusia mungil ini.

Mulai dari awal saja sudah disuruh mengerjakan bermacam-macam tugas sampai akhirnya harus kerjain di kosan teman. Pulang malam, tidur larut malam bukan hal yang aneh lagi karena butuh untuk nugas tapi alhamdulillah belum menemukan dosen yang macam-macam seperti orang yang rewel ngidam ini itu.

Kemudian juga lingkup sosial jadi salah satu hal yg sangat berpengaruh dalam kepribadian remaja nanggung berusia 18 tahun ini. Mulai dari teman, kaka tingkat, dan seluruh aspek pendukung di lingkunganku yang sangat jauh dari kehidupan semasa sekolah. Aku harus mulai menerima ketika melihat orang sebegitu gampangnya membicarakan hal yang tabu di ruang publik, berkata lebih kasar daripada yang kemarin-kemarin yang aku lihat, perilaku yang menyimpang aku lihat sendiri di depan mata kepalaku sendiri, dan lain sebagainya. 

Aku sering berkata di dalam hati, 
“Oh aslinya gini orang teh”
“Kok bisa dia melakukan semacam itu?”
“Apa? ini hal yang biasa buat mereka?”
ditambah juga dengan mayoritas di fakultas teknik bergender laki-laki yang membuatku beristighfar setiap saat hehe (ga juga sih). Satu yang selalu aku pikirkan yaitu, “Bagaimana jaga pergaulannya?”. Kerudungku ga panjang-panjang amat kayak orang lain dan walaupun orang bilang panjang, itu semua belum menjadikan seorang perempuan terjaga dari gangguan secara menyeluruh.

Label universitas islam bukan jadi jaminan bahwa seseorang akan menjadi lebih baik, tapi setidaknya ada upaya-upaya perintis beserta petinggi-petingginya untuk menjadikan mahasiswa mengerti atau minimal tahu dengan agamanya sendiri . Ya aku bersyukur setidaknya orang yang setiap hari yang aku lihat adalah orang muslim, perempuan yang sering aku lihat suka menutup aurat, kalau begitu sebenarnya enak kan untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar kan? Namun, lagi-lagi background orang berbeda-beda, tetap saja ada yang mudah menerima jika diingatkan atau diperingatkan, ada yang masa bodo saat diberitahu, ada juga yang ngeles terus cari alasan lain biar perilaku itu keliatan ga salah.

Bagi orang yang dari luar kota pasti kenal dengan kata culture shock. Bagaimana tidak? bahasa yang dia hadapi bukan bahasa daerah yang sering mereka pakai, makanannya pun berbeda rasa dengan makanan asal daerahnya, apalagi pergaulannya dengan teman-teman yang satu nasib dari perantauan. Bagaimana denganku? Aku pun merasakan hal yang sama haha, dan karena itu aku harus menyesuaikan juga dengan orang-orang yang baru aku lihat kebudayaannya dan kebiasaannya sehari-hari.

Terakhir, hal yang sangat berpengaruh padaku sekarang adalah masalah waktu. Akhirnya aku tak harus berangkat pagi-pagi karena jadwal sekolah yang super duper mengikat. Di kuliah, jadwal lebih fleksibel waktunya (tapi makan jadi ga teratur). Jadi harusnya bisa kan ngaji di tiap waktu kosongnya? IYA BANGET harusnya BISA. Tapii….. (kalau udah tapi biasanya udah ga enak hehe..) yaaaa, inilah alasanku sebenernya adalah ga nyempetin. Haduh parah. Alasannya banyak banget, ya kalo gaada waktu untuk sendiri, ya karena nugas yang terus nambah, laporan-laporan, presentasi, dan amunisi-amunisi untuk lulus lainnya. Harus banyak belajar biar bisa luangin waktu buat ngaji harus! Nambah ilmu akhirat jangan lupa biar ga buta ilmu sama agama sendiri. 

Intinya semangat aja buat aku sendiri dan buat mahasiwa lainnya juga. Mudah-mudahan bisa menempuh ujian-ujian ini dengan lancar. Anyway, aku juga baru selesai ujian tengah semester. Nilainya gimana? Wallahu'alam. Ikhtiar sudah dijalani sekarang tinggal tawakal saja sama Allah, yang pasti ujian-ujian setelah tengah semester ini selalu tak terduga. Makanya persiapkan diri mulai dari sekarang baik ujian tulis biasanya maupun ujian kehidupan, apalagi ujian hati haha… harus kuat iman pokoknya jangan sampai terjerumus dan tertipu buaian orang-orang yang lagi kasmaraan apalagi biasanya kalo di awal-awal kuliah, orang-orang akan selalu ngincer orang yang menawan hatinya meskipun sifatnya bisa jadi sementara atau syukur-syukur langgeng sampai pelaminan. Baiknya sih langsung ke pelaminan saja ga ada masa ta'arufin dari awal semester sampe mau lulus (hehe lagi) (itumah bukan ta'aruf lagi namanya)

Selesai

Me : *talk to myself* “ Oh jadi gini rasanya jadi mahasiswa…..”

Kesan Pertama


Bismillah…

So here, I wanna tell you story about my new friend from Jakarta!

Awal pertamaku melihat kelakuanmu…… sama saja, sama dengan orang lain. Bisa jadi malah lebih parah.

Merokok
Tato
Anak Malam

Kesan pertama setelah mengenalnya beberapa hari.

Namun, semakin lama, semakin besar harapanku agar dirimu segera mendapat hidayah. Kau bilang, “aku masih belum dapat hidayah nih”, tetapi malah aku berharap besar kalau sebentar lagi kau akan mendapat hidayah dan segera hijrah. Kenapa? Karena kau sudah mulai berpikir tentang hal yang bahkan orang lain belum tentu memikirkan itu. Ketika orang lain membicarakanmu tentang anehnya perilaku dan penampilanmu berbanding terbalik dengan kelakuanmu saat memanjatkan do'a lebih lama daripada orang lain dan hal itu semakin membuatku yakin bahwa kamu juga pasti butuh Ar-Rahman dan Ar-Rahim dari-Nya.

Ditambah lagi dengan tulisanmu satu ini juga membuatku sadar bahwa tidak ada yang instan dalam menghasilkan sesuatu yang sempurna. Termasuk dalam beribadah kepada Sang Pencipta.

Dan sejujurnya aku ingin mengucapkan terima kasih untuk tulisan ini, karena tulisan ini dibuat tepat disaat aku benar benar butuh merefleksikan apa yang telahku lakukan selama ini.